
Ia pertama kali bersekolah di ELS
yaitu Sekolah Dasar untuk anak-anak Eropa/Belanda dan juga kaum bangsawan.
Selepas dari ELS ia kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA yaitu sekolah
yang dibuat untuk pendidikan dokter pribumi di kota Batavia pada masa kolonial
Hindia Belanda, yang kini dikenal sebagai fakultas kedokteran Universitas
Indonesia. Meskipun bersekolah di STOVIA, Ki Hadjar Dewantara tidak sampai
tamat sebab ia menderita sakit ketika itu.
Ki Hadjar Dewantara cenderung lebih
tertarik dalam dunia jurnalistik atau tulis-menulis, hal ini dibuktikan dengan
bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar pada masa itu, antara lain,
Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja
Timoer, dan Poesara. Gaya penulisan Ki Hadjar Dewantara pun cenderung tajam
mencerminkan semangat anti kolonial. Seperti yang ia tuliskan berikut ini dalam
surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker :
..Sekiranya aku seorang Belanda, aku
tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita
rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja
tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan
sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja
sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan
saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang
terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan
bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada
kepentingan sedikit pun baginya.
Tulisan tersebut kemudian menyulut
kemarahan pemerintah Kolonial Hindia Belanda kala itu yang mengakibatkan Ki
Hadjar Dewantara ditangkap dan kemudian ia diasingkan ke pulau Bangka dimana
pengasingannya atas permintaannya sendiri. Pengasingan itu juga mendapat protes
dari rekan-rekan organisasinya yaitu Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangunkusumo
yang kini ketiganya dikenal sebagai 'Tiga Serangkai'. Ketiganya kemudian
diasingkan di Belanda oleh pemerintah Kolonial.
Berdirinya organisasi Budi Utomo
sebagai organisasi sosial dan politik kemudian mendorong Ki Hadjar Dewantara
untuk bergabung di dalamnya, Di Budi Utomo ia berperan sebagai propaganda dalam
menyadarkan masyarakat pribumi tentang pentingnya semangat kebersamaan dan
persatuan sebagai bangsa Indonesia. Munculnya Douwes Dekker yang kemudian
mengajak Ki Hadjar Dewantara untuk mendirikan organisasi yang bernama Indische
Partij yang terkenal.
Di pengasingannya di Belanda
kemudian Ki Hadjar Dewantara mulai bercita-bercita untuk memajukan kaumnya
yaitu kaum pribumi. Ia berhasil mendapatkan ijazah pendidikan yang dikenal
dengan nama Europeesche Akte atau Ijazah pendidikan yang bergensi di
Belanda. Ijazah inilah yang membantu
beliau untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang akan ia buat di
Indonesia. Di Belanda pula ia memperoleh pengaruh dalam mengembangkan sistem
pendidikannya sendiri.
Pada tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara
kemudian mempersunting seorang wanita keturunan bangsawan yang bernama Raden
Ajeng Sutartinah yang merupakan putri paku alaman, Yogyakarta. Dari
pernikahannya dengan R.A Sutartinah, Ki Hadjar Dewantara kemudian dikaruniai
dua orang anak bernama Ni Sutapi Asti dan Ki Subroto Haryomataram. Selama di
pengasingannya, istrinya selalu mendampingi dan membantu segala kegiatan
suaminya terutama dalam hal pendidikan.
Kemudian pada tahun 1919, ia kembali
ke Indonesia dan langsung bergabung sebagai guru di sekolah yang didirikan oleh
saudaranya. Pengalaman mengajar yang ia terima di sekolah tersebut kemudian
digunakannya untuk membuat sebuah konsep baru mengenai metode pengajaran pada
sekolah yang ia dirikan sendiri pada tanggal 3 Juli 1922, sekolah tersebut bernama
Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa yang kemudian kita kenal sebagai Taman
Siswa.
Di usianya yang menanjak umur 40
tahun, tokoh yang dikenal dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat
resmi mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara, hal ini ia maksudkan agar
ia dapat dekat dengan rakyat pribumi ketika itu.
Ia pun juga membuat semboyan yang
terkenal yang sampai sekarang dipakai dalam dunia pendidikan Indonesia yaitu :
-
Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi contoh).
-
Ing madyo mangun karso, (di tengah memberi semangat).
-
Tut Wuri Handayani, (di belakang memberi dorongan).
Selepas kemerdekaan Bangsa Indonesia
pada tahun 1945, Ki Hadjar Dewantara kemudian diangkat oleh Presiden Soekarno
sebagai Menteri pengajaran Indonesia yang kini dikenal dengan nama Menteri
Pendidikan. Berkat jaa-jasanya, ia kemudian dianugerahi Doktor Kehormatan dari
Universitas Gadjah Mada.

(sumber : http://www.biografiku.com/2009/02/biografi-ki-hajar-dewantara.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar